Semakin
banyak umat muslim yang peduli dengan transaksi riba dan turunannya. Sebagian
tercerahkan secara online lewat akun sosial media seperti Pengusaha Tanpa Riba
dan sebagian lagi terinspirasi setelah mengikuti seminar-seminar yang diselenggarakan
berbagai komunitas serupa.
Persepsi
tentang pengertian riba perlu disamakan, berikut ini saya repost ulang materi tentang penjelasan riba yang bersumber
dari FP Pengusaha Tanpa Riba. Khususnya dalam perkara transaksi jual beli dan utang
piutang.
Mayoritas
ulama menyatakan bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang
(dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan
istilah riba utang (riba duyun) dan riba jual beli (riba buyu’).
Riba
dalam utang dikenal dengan istilah riba duyun, yaitu manfaat tambahan terhadap
utang. Riba ini terjadi dalam transaksi utang piutang (qardh) atau pun dalam
transaksi tak tunai selain qardh, semisal transaksi jual beli kredit (bai’
muajjal).
Perbedaan
antara utang yang muncul karena qardh dengan utang karena jual beli adalah asal
akadnya. Utang qardh muncul karena semata-mata akad utang piutang, yaitu
meminjam harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain.
Sedangkan utang dalam jual beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada
saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.
Contoh
riba dalam utang piutang (riba qardh), misalnya, jika si X
mengajukan utang sebesar Rp. 40 juta kepada si Y dengan tempo dua tahun. Sejak
awal keduanya telah menyepakati bahwa si X wajib mengembalikan utang ditambah
bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Riba duyun contohnya, jika kedua belah pihak menyepakati
ketentuan apabila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka
dia tidak dikenai tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya
tepat waktu maka temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau denda atas
utangnya tersebut. Inilah yang secara khusus disebut riba jahiliyah karena
banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan transaksi
qardh (utang piutang).
Sementara
riba utang yang muncul dalam selain qardh (pinjam) contohnya adalah apabila si A membeli mobil kepada B secara
tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam lima tahun. Jika dalam lima
tahun tidak berhasil dilunasi maka tempo akan diperpanjang dan si A dikenai denda
(misalnya) berupa tambahan sebesar 10%.
Perlu
diketahui bahwa dalam konteks utang, riba atau tambahan diharamkan secara
mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa
terjadi pada segala macam barang. Contohnya, jika si X berutang lima liter
bensin kepada si Y, kemudian ada syarat penambahan satu liter dalam
pengembaliannya, maka tambahan tersebut termasuk ke dalam riba yang kita tahu diharamkan. Sama halnya jika si X berutang 20 kg buah jeruk kepada si Y, jika disyaratkan ada tambahan pengembalian, misalnya 2kg, maka tambahan tersebut tergolong riba.
Imam
al-Qurthubi telah menyatakan, “Kaum muslimin telah bersepakat
berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa disyaratkannya
tambahan dalam utang piutang adalah riba, meski hanya berupa segenggam makanan
ternak”.
Bahkan,
mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang berutang harus
memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi utang, maka hadiah dan jasa
tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “Setiap qardh yang menarik manfaat maka
ia adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si B bersedia memberi pinjaman uang
kepada si A dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya kepada si B
selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan riba.
Semoga
artikel ini bermanfaat bagi sobat muslim semuanya. Kita harus menghindarkan
diri dari segala hal yang berakibat pada dosa, termasuk di antaranya perkara
riba. Salam sukses dua dunia :)
0 Response to "Riba dalam Transaksi Jual Beli dan Utang Piutang Menurut Islam"
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya :)